Minggu, 12 Oktober 2008

Degredasi Layanan Kesehatan di Perusahaan Besar

Kesehatan…sesuatu yang didambakan oleh semua insan manusia yang normal. Tidak ada satupun mahluk yang namanya manusia mau sakit kalaulah dia masih mempunyai pikiran yang waras. Kesehatan memang mahal, apalagi dalam kondisi ekonomi yang serba sulit saat ini. Bersyukurlah..bagi kita yang saat ini bisa bekerja disuatu perusahaan yang ada jaminan kesehatannya.
Diluar hubungan rasa syukur kepada Allah Swt atas hal di atas, tentunya ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam memenuhi hak karyawannya dalam hal pemberian jaminan pembiayaan kesehatan bagi karyawannya.
Saat ini, perusahaan demi mengejar Laba yang tinggi mulai lalai dalam memenuhi kewajibannya dalam urusan jaminan kesehatan karyawan. Manajemen perusahaan selalu mengkambinghitamkan efisiensi…efisiensi…..untuk menekan cost perusahaan.
Mereka tidak mau interospeksi kedalam, bahwa penyebab membengkaknya cost bukan semata-mata dari pos kesehatan tetapi ada hal-hal lain yang selayaknya menjadi prioritas efisiensi namun tidak berlaku bagi manajemen ini. Miss management juga mempengaruhi bisnis perusahaan ini.
Akhir-akhir ini kondisi ketidakpedulian perusahaan terhadap layanan kesehatan bagi karyawan dan keluarga ternyata juga ada di perusahaan tempatku bekerja, yang notabene perusahaan ini merupakan salah satu BUMN terbesar di negeri ini.
Keluhan karyawan dan keluarga terhadap fasilitas yang diberikan semakin hari semakin jauh dari harapan memuaskan.
1. Dokter yang dipekerjakan di poliklinik tidak mempunyai kompetensi yang memadai. Yang sebenarnya hal ini akan membuat Cost kunjungan ke Dr. maupun penggunaan obat menjadi tidak efisien, karena pasien akan berulangkali datang ke poliklinik karena diagnosa dr terhadap penyakit pasien yg kurang baik. Setiap kali datang akan berganti resep obat. Ada juga pengalaman slah satu dr. yg setiap mendiagnosa penyakit selalu hasilnya sakit “Maag”, dan pernah aku berdebat kalau aku tdk punya penyakit maag….ee..dr.nya tetep keukeuh bilang sakit maag. Ya udah wong dia yg dr.nya koq.. obat maag yg diberi tidak kuminum. Ketika aku konsul ke dr. luar ternyata penyakitku memang bukan maag. Ada juga pengalaman karyawan yg bawa anaknya, sakit infeksi tenggorokan, ee..si dr. Cuma nempelin stetoscop doing, tanpa melihat tenggorokan si anak. Si dr. kasih resep ya..itu tadi ngga’ sembuh-sembuh
2. Obat-obatan yang menjadi tanggungan perusahaan ternyat ada list nya, jika diluar itu maka tidak akan diganti. Kalau kita dapet rujukan ked r. spesialis maka resep obat harus di acc dulu ked r. kontrak perusahaan…tujuannya ya apalagi kalau bukan mengganti resep obat dengan yang ada di list /daftar obat. Penggantian ini tanpa sepengetahuan dr. spesialis tadi. Padahal setahuku ada etika di kedokteran untuk mengganti resep. Lagian …ngapain ngasih rujukan ke dr.spesialis kalau tidak percaya diagnosa dari dr. spesialis beserta resep obat yang dibuat. Ada yang lucu..semua vitamin…tidak diijinkan diresepkan baik rawat jalan maupun rawat inap di RS.
3. Yang lebih ekstrim lagi, untuk hak perawatan di RS (jika terpaksa rawat inap), semakin hari kualitasnya semakin menurun. Seorang manager di perusahaan ini hanya mendapat jatah kelas rawat kelas IIA yang sekamarnya diisi oleh 4 orang pasien (dengan tariff 175 ribu semalam), padahal 2 tahun yl…hak kelasnya ada di kelas IA. Kemudian manajemen perlakuannyapun sangat kaku dan kurang manusiawi. Coba Anda banyangkan jika semua kelas di RS tersebut terisi penuh dan yang tersisa adalah kelas rawat yang jauh di atasnya (sukur kalau bukan tersisa kelas VIP), maka tidak ada ampun bagi karyawan maka selisih bayar karena beda kelas akan menjadi tanggungan pribadi karyawan tersebut. Andai si pasien atau keluarganya menduduki jabatan di perusahaan mungkin masih bisa membayar selisih tariff kelas tersebut dari tabungannya, namun Anda bisa bayangkan jika si pasien adalah pegawai rendahan dari mana dia mencari uang yang bisa mencapai jutaan rupiah.

Ketidak becusan dari degredasi layanan kesehatan tidak terlepas dari ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam mencari solusi untuk mensejahterakan karyawannya. Atau bisa jadi inilah dampak dari manajemen kapitalis yang hanya mengejar keuntungan semata dengan mengesampingkan unsur manusiawi.
Karyawan hanya bisa berdo’a agar perusahaan ini dipimpin oleh pemimpin yang amanah….bukan pemimpin yang opportunis. Amien.

Tidak ada komentar: